Ceramah Ramadhan ke-26: Penegakan dan Peningkatan Kesadaran Hukum – Sahabat Cerpi pada kesempatan kali ini CeramahPidato.Com akan berbagi artikel mengenai Ceramah atau Pidato Ramadhan atau Puasa Tahun 2022 / 1443 Hijriah. Adapun judul ceramah ramadhan pada kesempatan kini adalah Penegakan dan Peningkatan Kesadaran Hukum, langsung saja disimak:
Fenomena di Indonesia dewasa ini menunjukkan semakin rendahnya kepercayaan warga masyarakat terhadap hukum (dalam makna ‘’hukum positif’’, atau ‘’hukum negara’’). Semakin rendahnya tingkat kepercayaan warga masyarakat terhadap hukum dan penegakan hukum disebabkan warga secara kasat mata menyaksikan dan mengetahui sendiri betapa ‘’sandiwara hukum’’ dan lebih khusus lagi ‘’sandiwara pengadilan’’ masuh terus berlangsung. Kita masih tetap pantas untuk mengalunkan syair lagu ‘’aku masih seperti yang dulu’’. Sosok-sosok penegak hukum yang kini masih bergentayangan masuklah sosok-sosok lama dengan paradigma lama tetapi dangan ‘’kemasan baru’’. Kongkritnya, ‘’sosok-sosok sapu kotor’’ di lingkungan penegakan hukum masih eksis dan bahkan semakin hari semakin memperkokoh posisinya.
Serentetan kasus-kasus hukum dan peradilan yang muncul di media massa, seperti berita kasus suap-menyuap kelas kakap yang masih berlangsung di tubuh Mahkamah Agung seperti diumumkannya oleh Ketua MA, Pro. Dr. Bagir Manan, SH. Tentang ‘’kasus hakim agung yang menerima suap’’, penunggaan tiga konglomerat di masa Marzuki Darusman, buronnya Tommy Soeharto yang kemidian di kabulkan PK-nya oleh MA, dan masih banyak lagi kasus lain, yang teramat mengecewakan rakyat banyak. Kesemuanya semakin menurunkan citra penegak hukum.
Bagi yang mengkaji ilmu hukum, tentunya mengetahui bahwa pemidanaan (penghukuman secara legal di bidang hukum pidana) mempunyai sejumlah tujuan, seperti; menakut-nakuti warga masyarakat luas agar tidak melakukan satu tindakan kriminal, membuat jera sipelaku agar tidak mengulangi lagi kejahatan yang pernah dilakukannya, merehabilitasi si pelaku agar mampu menjadi ‘’manusia baru’’ setelah usai menjalani hukumannya, dan lain-lain.
Dalam kenyataannya, tujuan pemidanaan inipun banyak yang tidak mampu diwujudkan karena vonis pengadilan yang sering dijatuhi oleh pengadilan, sama sekali kontras dengan ‘’rasa keadilan warga masyarajat’’. Tentunya bebas dan putusan bebas untuk terdakwa kasus korupsi misalnya, jelas sangat melukai keadilan’’ masyarakat. Dampak langsung dari fenomena itu adalah membawa warga negara masyarakat membuat bentuk ‘’social control’’sendiri dengan cara-cara kekerasan, seperti perilaku kekerasan dalam bentuk penganiayaan, pembunuhan, dan perusakan barang.
Oleh karena itu, bahwa ‘’akar’’ masalah merebaknya kakarasan adalah buruknya tingkat kepercayaan warga masyarajat terhadap pemerintah dan penegak hukum, maka langkah paling awal yang seyogyanya dilakukan adalah mangembalikan kepercayaan warga masyarajat terhadap hukum dan penegakan hukum. Nah, hukum yang bagaimana? Tentunya hukum yang sesuai dengn nilai instrik warga masyarakat, yaitu nilai instrik yang di anut oleh umat baragama, tentu saja adalah ajaran agamanya masing-masing. Nilai instrik yang dianut oleh penganut Islam, tentunya adalah ajaran (syari’at) Islam itu sendiri.
Indonesia yang dianggap sebagai negara ke-3 terkorup di dunia, ternyata tidak mempunyai seorang koruptor, karena belum ada orang difonis oleh hakim sebagai koruptor. Pernyataan seperti ini adalah pernyataan yang berangkat dari para dikma ‘’legal positivism’’, sebab bagi penganut ‘’legal positivism’’ seorang dapat diberi rabel ‘’koruptor’’ jika vonis hakim menyatakan demikian. Sekalipun seorang telah ‘’merampok’’ sedemikian banyak uang negara dan uang rakyat, tetapi jika hakim (karena disuap atau mendapat tekanan politik) tidak memutuskan bersalah, maka menurut paradikma positivism, seseorang itu ‘’bukan penjahat atau koruptor’’, dan itulah keadaan di Indonesia.
Oleh karena itu, jika kebenaran sepenuhnya hanya diserahkan bula-bulat pada pengadilan yang ‘’unfair’’, jelaslah hukum (negara) takkan pernah bersentuhan dengan keadilan yang sesungguhnya. Juga jelaslah behwa ide ‘’kepastian hukum’’ sebab kemukinan ia hanyalah ‘’kepastian undang-undang’’belaka.
Paradikma positivisme itu berbeda dengan paradigma hukum Islam yang lebih menonjolkan aspek perilaku konkret. Sunnah Rasulluh saw, sebagai interpretator yang paling akurat terhadap Alqurqn, jelas merupakan perilaku konkret yang dicontohkan Rasulullah saw. Dan sena tiasa sifatnya kasuistis dan kontekstual, tidak kaku dan tidak formalistis.
Kiranya aparat penegak hukum, yang mencakup polisi, pengacara, jaksa dan hakim dapat mengembalikan kepercayaan warga masyarakat. Untuk itu dihimbau para penegak hukum dalam menjalankan tugasnya; agar lebih kan banyak bertanya pada hati nurani mereka. Ketimbang pada perut mereka. Marilah kita kembalikan hukum kepada akar moraliras dan religiusnya.
Fenomema kekerasan dan kerusuhan, tak lain adalah manifestasi dari rasa ketidak percayaan rakyat banyak terhadap ‘’hukum’’ (negara). Dan satu-satunya cara untuk memulihkan kepercayaan masyarakat, kultural, dan religiusnya; dan kedua, me-lengser-kan semua petinggi hukum dan penegak hukum yang tergolong dalam ‘’sosok-sosok sapu kotor’’ (the dirty sweep).
Kita harus berjuang agar hukum dapat dikembalikan pada akar moralitasnya, akar kulturalnya dan akar religiusnya, sebab hanya denag cara itu, masyarakat akan merasakan hukum itu cocok dengan nilai-nilai instrik yang mereka anut. Sepanjang aturan hukum yang ada tidak sesuai dengan nilai-nilai instrik warga negara masyarakat, maka ketaatan hukum yang muncul hanyalah sekedar ketaatan yang bersifat ‘’compliance’’ (taat hanya karena takut sanksi), dan buka ketaatan yang bersifat ‘’internalization’’ (ketaatan karena benar-benar menganggap hukum itu cocok dengan nilai-nilai instrik yang dianutnya).
Sebenarnya, relevan dengan ide ini, adalah munculnya aspirasi umat Islam di Sulawesi Selatan untuk memberlakukan secara formal ‘’syariat Islam’’ bagi umat Islam di Sulawesi Selatan. Jika ide ini terwujud, penganut agama lain yang ada di Sulawesi Selatan tak perlu merasa terusik, karena secara analogi dalam kalimat untuk memberlakukan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya, berarti juga tetap berlakunya hukumagama masing-masing bagi pemeluk agama lain. Adalah isu yang sengaja dibelokkan, jika ada pandangan yang menyatakan, jika syari’at Islam sudah berlaku di Sulawesi Selatan, maka semua non muslim akan disunat (dikhitan). Bukan demikian cara Islam memerintah, toleransi Islam dalam memerintah telah dicontohkan di zaman Rasulullah Saw. Dan para sahabatnya. Kita jangan mengacaukan perilaku individual sosok tertentu yang mengaku dari kalangan Muslim yang berperilaku brutal, dengan ajaran Islam yang pada hakikatnya tidak membenarkan perilaku kekerasan.
Kekeliruan yang paling banyak terhadap hukum (syari’at) Islam, adalah bahwa syari’at Islam diidentikkan dengan hukuman yang keras, seperti potong tangan bagi pencuri atau hukuman rajam bagi penzina. Persepsi sejenis itu jelas perlu diuruskan.alhamdulillah, seorang guru besar beragama non-Muslim, yaitu Pro Dr. Lawrence Rose, seorang guru besar Antropologi dan guru ilmu hukum pada Universitas Columbia, melalui bukunya yang ‘’best seller’’ berjudul ‘’The Justice of Islam: Comparative Perspective on Islamic Law and Society’’, diterbitkan oleh Oxford Universitas Press, tahun 2000; telah berusaha meluruskan kekeliruan pandangan dari rekan-rekannya selama ini terhadap Syari’at Islam, Lawrence Rosen menuliskan a.l. bahwa:’’ One out of five people in the word lives subject ti islamic adjudication…’’.
Maksudnya, satu dari lima penduduk dunia adalah orang yang seyogyanya tunduk pada sari’at islam. Tetapi stereotip yang masih menyebar adalah persepsi keliru tentang syari’at Islam, yang menonjolkan betapa kakunya dan betapa ganasnya syari’at Islam itu.
Kalau hanya orang non-muslim atau masyarakat awam yang salah persepsi tentang syari’at Islam, maka masih dapat dipahami, tetapi yang tragis kalau ada cendekiawan Muslim yang juga ‘’ngeri’’ terhadap pemberlakuan syari’at Islam, dengan menonjolkan hukum potong tangannya belaka. Masa seorang guru besar non-Muslim seperti Lawrence Rose lebih memahami karakteristik yang sebenarnya dari syari’at Islam, ketimbang seorang yang secara formal adalah cendikiawan Muslim?.
Perlu dipahami bahwa selain hukum Allah yang ada hanya hukum jahiliyah, di luar hukum Allah hanya ada hukum syetan. Maka Allah bertanya dalam firman-Nya: QS. Al-Maidah 5:44,45,47 dan 50:
Yang artinya:
Jadi, kendala untuk menegakkan syari’at Islam, bersumber dari persepsi keliru yang dianut oleh sebahagiaan umat Islam, bahkan cendikiawan Muslim sendiri. Oleh karena itu, langkah pertama yang harus diupayakan untuk menuju pada penegakan syari’at Islam secara formal di Sulawesi Selatan, adalah ‘’mensosialisasikan lebih dahulu persepsi yang benar tentang syari’at Islam’’. Untuk itu marilah kita rapatkan shaf untuk saling bantu membantu mensosialisasikan seraya memperjuangkan syari’at Islam yang nantinya akan menegakkan supremasi hukum itu sendiri.[cp]