Ceramah Ramadhan Ke-28: Zakat dan Pajak – Sahabat Cerpi pada kesempatan kali ini CeramahPidato.Com akan berbagi artikel mengenai Ceramah Puasa 222 atau Ceramah Ramadhan 1443 H, judulnya adalah Zakat Dan Pajak, simaklah.
Istilah yang merupaka nama dari salah satu bentuk ibadah dalam Islam, berasal dari huruf’’ dan yang berarti penyician atau pembersihan dan pertumbuhan. Pertumbuhan disini, menurut Al-Raghib al-Asfahaniy dimaksudkan bahwa zakat itu menumbuhkan ekonomi umat karena adanya berkat Allah. Secara termonilogi zakat adalah meng eluarkan sejumlah tertentu dari harta yang hukumnya wajib untuk diserah kepada sejumlah pihak tertentu yang disebut mustahik sesuai dengan ketentuan Syariat yang diatur dalam alquran dan Sunnah.
Kata zakat dan segala bentuk jadiannya di dalam Alquran ditemukan sebanyak 59 kali, baik dalam ayat-ayat Makkiyah (11 kali) maupun dalam surah-surah Madaniyah (21 kali). Jadi sebenarnya, konsep zakat sudah dikenal dalam Islam sejak sebelum Rasulullah saw. Hijrah. Bahkan, menurut Alquran dapat pula dikatakan bahwa kewajiban zakat terdapat dalam syariat terdahulu. Ini dapat dipahami misalnya dari Q.S. Al-Bayyinah (98): 5, berbunyi:
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ ۚ وَذَٰلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ
Yang Artinya:
Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus.
Fungsi-fungsi zakat
Islam secara prinsipil mengajarkan umatnya untuk dapat hidup bahagia dunia dan akhirat. Itu berarti, Islam menghendaki umatnya menbangun peradaban yang makmur dan bermoral, jauh dari kesan kemiskinan.Dalam Islam diajarkan kegiatan dan ibadah tertentu yang mempunyai dampak langsung dan tidak langsung terhadap pengentasan kemiskinan. Di antara ialah ajaran mengenai zakat, infaq dan shadakah (ZIS). Selain itu, Islam juga mengaruskan umatnya bekerja keras dan meningkatkan etos kerjanya; mengharapkan agar penguasa (pemerintah) Islam memberi kemungkinan berkembangnya tatanan kehidupan yang menguntungkan rakyat banyak; dan mengajak agar setiap orang meninggalkan kebiasaan buruk yang menjatuhkannya kejurang kemiskina , misalnya boros (mubazzir) dan judi.
Pemanfaatan Zakat secara Umum
Zakat mempunyai fungsi sosial yang sangat berat artinya bagi pengentasan kemiskinan. Ciri utama suatu kelompok miskin ialah ketidak mampun mereka memenuhi kebutuhan pokok makanannya. Maka dalil yang paling tegas menyebut penggunaan zakat sebagai makanan pokok adalah menyangkut zakat fitri, yakn i riwayat yang ai sampaikan oleh Ibnu Abbas yang menyatakan dua hal, yakni thuhrat li as-sha’im dan thu’mat li al-masakin (pemberisan bagi orang yang berpuasa dari ucapan tak benar dan kotor dan bagian makana bagi orang-orang miskin). Secara lengkap, hadis itu berbunyi:
saja berguna sebagai makanan bagi orang-orang miskin, tetapi juga seharusnya di bagi kepada delapan ashnaf yang disebutkan dalam Al-Quran:‘’Sesungguhnya sakat-sakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, miskin, pengurus-pengurus zakat, para mua’allaf (yang dinujuk hatinya), untuk memerdekakan budak, untuk jalan Allah dan ibn sabil, sebagai ketentuan yang diwajibkan Allah; dan Allah maha mengetahui dan maha bijaksana’’.
delapan ashnaf. Pandangan ini juga dianut oleh Sayyid Sabiq, penulis kitab Fiqh al-Sunnah; bahwa lebih dari itu ia mengungkapkan bahwa Al-Zuhriy, Abu Hanifa, Muhammad dan Abu Syabramah menbolehkan zakat fitri itu dibagikan kepada kaum zimmi berdasarkan pengertian umum dari Q.s. al-Mumtahanah/60: 8, berbunyi:
لَّا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُم مِّن دِيَارِكُمْ أَن تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ
yang artinya:
Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.
Sehubungan dengan ini Al-Syaikh Ali Ahmad Al-Jarjawiy, penulis kitab Hikmat al-Tasyri wa Falsafatuh, juga menerima pandangan yang menbolehkan pembahagian zakat fitri kepada orang zimmi. Namun, ia kembali menegaskan bahwa ayat 8 dari surah Al-Mumtahanah di atas, meskipun membuka jalan untuk bagian kaum zimmi, harus diakui bahwa zakat itu selayaknya diperuntuhkan kepeda orang-orang Muslim saja. Alasannya ialah hadis dari Mu’az, yakni sabda Rasulullah SAW:Ambillah zakat dari orang-orang kaya mereka (orang muslim), dan kembalikan pula kepada orang-orang miskin mereka (orang muslim).
Yang jelas bahwa adanya jalan untuk memberi zakat kepada kaum zimmi menunjukkan bahwa upaya mengentasan kemiskinan dalam Islam tidaklah bersifat eksklusif; tidak hanya untuk umat Islam, tetapi segenap bahagian masyarakat yang pantas menerimanya. Golongan yang membolehkan kaum zimmi menerima zakat firti disamping berdasar pada arti umum Q>S> Al-Mumtahannah: 8 juga surah Al-Tawbah: 160, tentang sasaran zakat, yang salah satu di antaranya ialah al-mu;allafat qulubuhun (kaum mualaf).
Kata mualaf, yang biasa di pahami dalam arti orang-orang yang baru masuk Islam dan perlu dujinakkan agar tidak menimbulkan fitnah (ancaman) terhadap Islam dan dengan harapan agar mereka dapat menganut agama Islam.
Aspek Sosial Pemanfaatan Zakat Fitridipahami dari redaksi yang menyangkut zakat fitri khususnya, yang menekankan oada kalimat tha’am (thu’mah) dan masakin atau fuqara’ yang semunya mengacu kepada perlunya pembnerian makanan bagi orang miskin, dan terangkum dalam satu kata yakni fithr (berbuka) yang menjadi nama khas dari zakat tersebut.
Berdasarkan hadis Ibnu Umar yang diriwayatkan oleh Bukhari bahwa zakat fitri harus ditunaikan sebelum shalat ‘Id, ad alah bertujuan agar para orang kafir tidak lagi berkeliaran mencari makanan pada hari itu, sebagaimana yang diharapkan Nabi SAW menurut riwayatnya Ibn ‘Ady danAl-Darquthni dari hadis Ibn Unar, dengan menegaskan: ‘’cukupkanlah makannya, sehingga tidak lagi berkeliling mencari makanan pada hari Raya ‘Id ini’’.
Dari sini kita dapat mengerti bahwa orang miskin adalah orang-orang yang susah memperoleh makanan, sehingga diantara mereka ada yang terpaksa menjadi pengemis. Keadaan seperti ini juga, diisyaratka oleh firman Allah swt. Di dalam Q.s. al-Hajj/22:28, berbunyi:
لِّيَشْهَدُوا مَنَافِعَ لَهُمْ وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فِي أَيَّامٍ مَّعْلُومَاتٍ عَلَىٰ مَا رَزَقَهُم مِّن بَهِيمَةِ الْأَنْعَامِ ۖ فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْبَائِسَ الْفَقِيرَ
Yang artinya:
‘’Danupaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan atas rezeki yang Allah telah berikan kepada mereka berupa binatang ternak. Maka makanlah sebahagian daripadanya dan (sebahagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara dan fakir.
Adanya kaum miskin dan fakir dalam pengertian di atas, secara historis diduga keras terdapat –dan masih merajalela – dizaman permulaan Islam. Hipotesis ini menjadi kuat jika kita ingat bahwa perintah menbayar zakat fitri itu telah ada sejak tahun kedua Hijriyah, mendahului kewajiban zakat lain. Mungkin saja sesudah itu, seiring dengan kemajuan Islam itu sendiri, orang miskin dalam arti sudah memperoleh makanan sudah tidak ditemukan, dan karena itu pula sudah jarang dari mereka ditemukan menjadi pengemis. Akibatnya, engertian ‘’miskin’’ sudah berubah pula. Perkataan tersebut tidak lagi dikenakan secara khusus terhadap orang-orang yang susah memperoleh makanan, tapi sudah mencakup pula orang-orang yang yang memiliki harta, namun belum memenuhi kebutuhan primernya yang lain. Hadis riwayat Bukhari menegaskan: ‘’yang disebut miskin bukanlah orang-orang yang mendatangi manusia dan meminta sesuap atau dua suap makanan, sebiji atau dua biji kurma, tetapi yang disebut miskin ialah orang yang tidak memiliki harta yang mencukupi hidupnya, orang lain tidak memberikan perhatian untuk bersedekah kepadanya, dan tidak pula ia meminta orang lain untuk itu’’.
Sejalan dendan hadist tersebut, Al-Syafi’iy kemudian memahami pengertian ‘’miskin’’ bebbeda dengan pengertian faqir. Baginya, fakir ialah orang yang tidak punya harta dan tidak punya pekerjaan yang menghidupinya, baik mengemis maupun tidak, sedangkan miskin ialah orang yang punya harta atau pekerjaan namun tidak mencukupi hidupnya, baik meminta atau tidak.
Pengertian ‘’miskin’’, ternyata mengalami perkembangan dari zaman ke zaman. Masalahnya, apakah tujuan zakat fitri juga bergeser dari sifatnya sebagai thu’mah (makanan) menjadi alat pemenuhan kebutuhan lain di luar makanan itu? Tujuan utama zakat fitri sebagai makanan bagi orang miskin, tidak dapat dihapus, akan tetapi tidak berarti tujuan zakat fitri terpaku pada soal itu saja. Pengertian kata thu’mah yakni makanan untuk memenuhi kebutuhan perut yang sedang lapar, mungkin masih cocok bagi masyarakat yang masih sangat melarat. Namun, dalam masyarakat yang sudah berkembang atau yang sudah maju, pengertian demikian tidak relevan lagi. Perkataan tu’mah dalam kontes masyarakat yang sudah maju, lebih tepat jika diartikan menjadi komsumsi secara luas, mencakup segala hajat hidup orang miskin (ekonomi lemah) di luar pangan.
Dalam pembendaharaan bahasa syariat, perkataan ‘’makan’’ selai diungkap dengan kata-kata thu’mah atau tha’am, juga terkadang diungkap dengan kata akala (al-akl) dalam kata jadian: ta’kul atau ya’kul. Misalnya larangan memakan harta anak yatim diungkap dengan kata tersebut:mereka itu menelan api sepenuh perutnya, dan mereka itu akan masuk ke dalam api neraka’’. Larangan makan riba juga diungkap dengan kata tersebut:‘’ hai orang-orang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan terlipat ganda’’.
Kata ‘’ya’kulun’’ dan ta’kulun yang berarti ‘’memakan’’, tidaklah berarti bahwa pemanfaatan harta anak yatim dan perolehan riba hanya berlaku dalam proses makan (dalam arti mengisi perut). Larangan mengkonsumsi dalam arti luas, mencakup pemanfaatan harta anak yatim dan segala jenis peroleh riba. Dalam kontes pengertian konsumsi secara luas itulah, kita mencoba memahami makna yang terkandung dalam thu’mah. Bahwa untuk ukurang masyarakat yang sudah berkembang dan maju, zakat fitri dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan golongan ekonomi lemah, diluar kebutuhan makan (pangan) mereka. Maka dengan sendirinya zakat fitri juga tidak mesti di bayar dalam bentuk bahan makanan sepeti gandung, tamar dan anggur (di zaman Nabi SAW) atau beras dan jagung (bagi masyarakat Indonesia dan Asia Tenggara pada umumnya). Dalam kontes ini, terasa ada benarnya pendapat Abu Hanifah yang membolehkan pembayaran zakat dalam bentuk qimah (nilai) yang sesuai dengan kadar zakat yang wajib baginya. Baginya, tradisi kita di Indonesia, cara ini tidak menjadi asing lagi. Meskipun diketahui bahwa sebahagiaan besar umat Islam di Indonesia mengaku bermaszhab Al-Syafi’iy, ternyata cara pembayaran zakat fitri dengan uang, menurut jaln yang di anjurkan Abu Hanufah, semakin populer.
Hal yang perlu dipahami disini, ialah apa yang mendorong cara tersebut menjadi semakin populer. Ternyata hal yang mendoromg kearah itu adalah tingkat kehidupan masyarakat Islam di Indonesia, yang tidak lagi susah makan, tetapi ‘’miskin’’ dalam arti belum mampu memenuhi kebutuhan hidupnya secara layak, seperti yang diisyaratkan oleh hadis Bukhari yang telah di kutip di muka. Dalam skala yang lebih luas, konsep ‘’miskin’’ tidak lagi berorientasi pada individu, tetapi lebih bersifat kolektif. Dari sinilah timbulnya istilah masyarakat miskin, atau negara-negara miskin, yang artinya mengacu kepada negara atau masyarakat yang terkebelakang. Dalam masyarakat atau negara miskin, mungkin saja masalah kekurangan pangan tidak lagi menjadi isu, tetapi digantikan oleh kekurangan lapangan kerja. Dengan demikian sumber zakat, termasuk zakat fitri sudah layak jika pengunaannya ditujukan kepada aspek kehidupan lain dalam proses pembangunan umat, dengan tetap mengingat sasaran pendayagunaan zakat yang mencakup delapan ashnaf.
Membangkitkan Solidaritas Islam
Pembayaran ZIS hendaknya tidak dipahami sebagai perintah ubudiyah semata, tetapi sangat jelas efek solidaritasnya antara sesama umat Islam. Bahwa menurut Ibn Khaldun, stata sosial masyarakat yang paling atas menjadi lapisan yang paling rawan, sebab secara sosiologis, masyarakat tingkat atas itu tidak lagi mempunyai rasa solidaeitas yang kuat, akibat kepedulian sosialnya semaking kurang. Bagi masyarakat Islam, prediksi Ibn Khaldun itu dapat ditangkal dengan tetap tumbuhnya solidaritas orang-orang yang sudah berkehidupan makmur (masyarakat hadharah), tidak akan mudah kehilangan rasa solidaritas, asal saja tetap menngamalkan dan menghayati makna ibadah zakat yang mengandung pesan untuk membantu mereka yang dilanda penderitaan. Dengan demikian, kita tidak perlu takut mengejar kemajuan dan mewujudkan masyarakat makmur sebab kemakmuran yang dijanjikan Islam bukanlah kemakmuran kapitalistik yang mengunakan kekayaan menindas orang miskin agar semakin miskin, melainkam kemakmuran yang membawah berkah bagi orang-orang miskin sekitarnya. Salah satu hikmah ajaran zakat adalah agar harta itu tidak hanya dinikmati oleh orang-orang kaya, sebagaimana firman Tuhan dalam Q.S. Al-Hasyr I(59):7:
مَّا أَفَاءَ اللَّهُ عَلَىٰ رَسُولِهِ مِنْ أَهْلِ الْقُرَىٰ فَلِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ وَلِذِي الْقُرْبَىٰ وَالْيَتَامَىٰ وَالْمَسَاكِينِ وَابْنِ السَّبِيلِ كَيْ لَا يَكُونَ دُولَةً بَيْنَ الْأَغْنِيَاءِ مِنكُمْ ۚ وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانتَهُوا ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۖ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
Yang Artinya:
Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya (dari harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota maka adalah untuk Allah, untuk Rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya.
Dewasa ini, sebahagian umat kita terjebak oleh kemiskinan struktural. Mereka miskin bukan hanya karena kemalasannya, melainkan karena kondisi sosial yang menepatkan mereka beradadalam stata paling bawah, kurangnya lapangan kerja, serakahnya orang-orang berada, penekanan yang berlebihan pada sektor pertumbuhan ekonomi. Hal demikian dimanfaatkan oleh orang-orang tertentu untuk bersaing dalam mengaadakan kolusi memperoleh proyek-proyek raksasa, walaupun rakyat kecil harus digusur, ditambah lagi dengan belum maksimalkan pemerataan yang ditimbulkan kecemburuan sosial yang terpendam.
Maka untuk melepaskan umat dari kondisi yang demikian diperlukan pemikiran yang mendasar dan langkah konkret dengan menggalang solidaritas di antara mereka serta diperlukan adanya keberanian dan kearifan dari pemerintah yang menyusun kebijakan dari atas untuk lebih memperhatikan nasib orang kecil; mengajak secara bijaksana para konglomerat untuk lebih bersifat manusiawi, mengelolah bisnis untuk kepentingan bersama, bukan bisnis untuk kerajaan bisnis semata-mata.
Mendorong Etos Kerja Umat
Sebenarnya, sebhagian orang-orang miskin itu mengalami kemiskinannya adalah disebabkan oleh perilakudan pola hidupnya sendiri ang cenderung malas, pemboros, tanpa perhitungan. Untuk mereka yang keadaannya demikian, kita perlu membangkitkan semangat kerja. Pada dasarnya Islam lebih menyenangi orang-orang yang tangannya diatas (suka memberi) dari pada yang tangannya di bawah (hanya tau minta tolong). Untuk itu Islam sangat menganjurkan kerja keras agar hidup seseorang semakin baik. Dalam salah satu hadis Riwayat Al-Bukhariy, Rasulullah SAW menegaskan: ‘’tidaklah seseorang itu memakan makanan yang lebih baik dari hasil usahanya sendiri dan sesungguhnya Daud AS memakan dari hasil kerja tangannya’’.
Dalam mendorong umatnya untuk bekerja keras, kama Rasulullah SAW pernah pula menyatakan bahwa tiap petani yang tanamanya dapat dinikmati oleh burung atau hewang ternak dan apalagi manusia, akan dicatat sebagai sedekah baginya. Teks hadist itu berbunyi: Hadis ini bermaksud untuk mendorong etos kerja di kalangan petani agar tiap jengkal tanah pertanian diusahakannya menjadi lahan yang produktif.
Kemalasan dikalangan umat juga disebabkan oleh adanya paham bahwa semakin kaya seseorang semakin sulit masuk sorga,sebab ia harus lebih banyak mempertanggung jawabkan harta kekayaannya. Apa lagi, jika dikaitka dengan riwayat yang mengatakan bahwa Rasulullah SAW akan masuk sorga bersama dengan orang-orang miskin. Paham seperti ini hendaknya diperbaiki, jangan disalahgunakan. Sebaiknya jika kita baik, bahwa sebenarnya Islam mewajibkan kita berusaha menjadi kaya sebab hanya orang kaya lah yang dapat memenuhi perintah Tuhan untuk menbayar zakat. Hanya orang kayalah yang dapat berjihad fi sabilillah di zaman modern ini untuk menegakkan da’wah Islam yang semakin menbutuhkan fasilitas dan dana yang banyak.
Meningkatkan Kualitas Pendidikan
Kemalasan akan semakin sempurna jika sebahagian masyarakat masih dilanda kebodohan. Kebodohan menyebabkan seseorang menjadi tidak tahu apa yang ia hharus perbuat demi kehidupannya. Karena itu, umat Islam sekarang sangat membutuhkanperbaikan dan peningkatan kualitas pendidikan. Untuk itu, harapan agar lembaga-lembaga da’wah dan pendidikan Islam mau berupaya untuk mencurahkan perhatiannya pada pemberian kesempatan yang lebih luas bagi generasi muslim untuk mengecap pendidikan, antara lain dengan memberikan bea siswa sebagai upaya konkret mengentaskan kemiskinan. ‘’berilah kail, dan jangan hanya memberikan ikan’’. Untuk menberikan beasiswa maupun perbaikan sarana pendidikan, maka umat Islam dapat memanfaatkan zakat sebagai sumber dana pembiayaan. Upaya untuk itu memang telah dilakukan pemerintah, tapi umat Islam harus sadar bahwa tanpa menggali potensi umat sendiri berupa zakat disertai kesadaran untuk membantu sesama, nasib sebagai generasi muslim yang cerdas dan berprestasi akan kandas karena kelemahan ekonomi.
Pajak dan Pelaksanaannya menurut Hukum Ialam
Dalam Islam, istilah yang relevan dengan pajak adalah jizyah atau kharaj. Dua istilah ini masig-masing terdapat dalam nash sebagai brikut: ‘’pangilang orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula)kepada hari kemudian dan mereka tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (yaitu orang-orang) yang diberikan al kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk’’. ‘’atau kamu meminta upah kepada mereka?, maka upah dari Tuhanmu adalah lebih baik, dan Dia adalah pemberi rezki yang paling baik.
Dua ayat di atas digunakan oleh Al-Mawardi dalam kitabnya Al-Ahkam al-Sulthaniyah untuk mengambarkan adanya pungutan pembayar di luar zakat. Bedanya dengan zakat ialah bahwa zakat dipungut dari umat Islam, sedang jizyah dipungut dari kalangan non muslim. Adapun kharaj dipungut dari non muslim dan muslim yang mengerjakan lahan tertentu. Jizyah adalah pungutan yang khusus diambil dari kaum musyrikin (non muslim atau dzimmi), dan sama sekali tidak dipungut dari mereka yang sudah muslim. Hal ini di sebut dalam Hadis Riwayat Abi Dawud sbb:. ‘’dari Ibni Abbas berkata, sabda Rasulullah Saw: tidak ada kewajiban jizyah atas umat Islam; telah memberikan kepada kami Ibn Katsir berkata, Sufyan ditanya tentang pemahaman soal ini, lalu ia berkata: jika ia telah masuk Islam maka tidak berlaku ada jizyah.
Dan tebih tegas lagi hadis riwayat Al-Turmudzi sebagai berkut:‘’yahya Ibn Aktam memberitakan kepada kami, telah memberitakan kami Qabus bin Abi Zhubyan dari bapaknya dari Ibn Abbas berkata, bersabda Rasulullah SAW tidaak pantas dua kiblat pada satu biumi, dan tidak pantas kaum Muslimin dikenakan jizyah (upeti)……………………..dan pengamalan soal ini di kalangan ulama bahwa kaum Nashrani, jika memeluk Islam maka lepaslah kewajiban membayar jizyah, dan perkataan Nabi saw.: ‘’tidak ada kewajiban membayar persepuluh yakni jizyah (semacan pajak), dan dalam hadis dipahami hal ini ketika ia berkata pajak (persepuluh) itu hanya atas Yahudi dan Nahrani, dan tidak ada kewajiban usyur atas umat Islam. Adapun kharaj (jenis pajak lain) biasanya dikenakan atas diri seorang yang diserani mengelola lahan pertanian. Lahan ini akan kalanya direbut dari tangan non muslim secara paksa atau tidak. Tanah yang direbut dari non muslim kemudian pengelolaannya diserahkan kepada non muslim tadi, dikenakan pembayar pajak (usyur) yang sekaligus merupakan jizyah. Tetapi jika ia memeluk Islam, maka jizyahnya gugur kemudian hanya dikenakan kharaj (pajak)yang jumlahnya tidak sebesar jizyah tadi.
Penerapan Zakat dan Pajak atas Umat Islam
Dalam zaman modern, khususnya di negara kita Indonesia, setiap warga yang memenuhi perhitungannya diwajibkan membayar pajak. Dengan demikian, umat Islam mengalami pembayaran dua jenis, yakni pajak dan zakat sekaligus, sehingga terkesan agak memberatkan. Banyak orang yang berusaha menemukan jalan agar umat islam tidak terkena beban pembayaran yang memberatkan tersebut.
- Untuk memecahkan masalah ini, kita dapat memilih salah satu dari empat alternatif berikut:
- Umat Islam di sampin membayar pajak sesuai perhitungannya, juga harus membayar zakat sesuai dengan perhitungan nisabnya.
- Umat Islam hanya membayar zakat dan dibebaskan dari pembayarak pajak sama sekali;
Jika pajaknya lebih besar dari zakat, maka pajak yang dibayar adalah selisih lebih dari zakat yang sudah dibayarkan sebelumnya. Tetapi jika zakat lebih besar dari pajak, maka zakat yang dibayar adalah selisih lebih dari jumlah pajak yang sudah dibayar sebelumnya.
Umat Islam membayar pajak dari harta yang sudah dizakati, atau hanya membayar zakat dari harta yang sudah dibayar pajaknya. Alternatif pertama merupakan alternatif yang menarik dana pembangunan umat dan bangsa sebesar mungkin, tetapi terasa memberatkan dan rasanya tidak memecahkan persoalan. Meskipun demikian, terserah kepada setiap warga negara muslim, jika mereka ingin memberikan dana yang lebih besar bagi pembangunan bangsa dan umat.
Alternatif kedua merupakan contoh model yang menyamai medol pemungutan dana sesuai yang disebutkan dalam sejarah Islam. Tetapi kita harus memahami secara arif bahwa kita hidup dalam negara yang warganya cukup heterogen, bercampur antara umat Islam dengan non Muslim. Jika umat Islam dibebaskan dari pajak, dan hanya membayar zakat, maka dibutuhkan suatu undang-undang yang mengharuskan negara yang mengelola zakat itu sebagai dana pembangunan untuk semua warganya. (Lihat UU No. 38 tahun 1999).
Barangkali jalan yang moderat yang dapat ditempuh ialah memilih antara alternatif ketiga atau ke empat diatas. Alternatif ketiga menunjukkan bahwa pembayaran dilakukan secara inklusif (qiran), sehingga setiap orang pembayarannya berfungsi sebagai zakat dan pajak sekaligus. Sedangkan alternatif keempat menunjukkan bahwa umat Islam membayarkan zakatnya, kemudian pembayarak pajak hanya diperhitungkan dari harta yang benar-benar telah bersih dari zakat. Atau sebaliknya, umat Islam terlebih dahulu membayar pajaknya, dan setelah itu barulah dihitung zakat dari harta yang bersih dari pajak itu.
Untuk menetapkan mana alternatif yang layak dipilih perlu upaya memproduk undang-undang atau peraturan yang mendukungnya. Wallahu a’lam bi al-Shawab.[cp]